Kesiapan masuk sekolah adalah persyaratan keterampilan dan pengetahuan yang memingkinkan seorang peserta didik memanfaatkan semaksimal mungkin suatu jenjang pendidikan.
Masaru Ibuka (1980) dalam tulisannya mengenai pendidikan anak mengatakan, bahwa anak hendaknya mulai “dididik” sejak lahir. Menurut Ibuka, pendidikan sangat dini ini tidak akan menjadikan anak normal menjadi genius, tetapi dapat membuat anak lebih sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih cerdas dan lebih “berbudaya”. Alasan yang diberrikan untuk memulai pendidikan pada masa dini anatara lain adalah perkembangan otak cepat terbentukpada usia dibawah 3 tahun, banyak keterampilan yang hanya dapat dikuasai bila dipelajari pada usia sangat dini.
Tidak menjadi perdebatan lagi bahwa perkembangan intelek adalah hasil faktor genetika dan faktor lingkungan, maka faktor lingkunganlah yang perlu mendapat perhatian. Umunya pada lingkungan sosial budaya yang jurang mampu, perkembangan intelek terhambat oleh kurangnya rangsangan dan tantangan (dikutip oleh Betty H Watts, 1970).
Menurut Martin L. Maehr (1974) ada tiga aspek penting dalam kapasitas intelek yang berkaitan dengan rendahnya prestasi belajar anak-anak yang berasal dari lingkungan yang kurang mampu. Ketiga aspek tersebut ialah :
1. Perkembangan Bahasa
Bahasa yang efektif merupakan sarana berusaha yang paling penting sebagai bekal sekolah. Kekuasaan lewat bahasa adalah “kurikulim yang tersembunyi” yang ada dalam kelas menengah. Anak belajar bahwa pencapaian dan pemeliharaan kekuasaan paling baik diperoleh melalui kata-kata. Jadi ia memperluas dan mempermahir penggunaan kata-kata sebagai instrumen yang kuat, yang pada akhirnya juga efektif untuk digunakan di sekolah. Sedangkan dalam keluarga miskin, yang biasanya keluarga besar, segala tenaga dicurahkan untuk mempertahankan hidup. Kehidupan keluarga tidak jarang berantakan. Dalam keadaan demikian, konsekuensi suatu perilaku tidak dapat diramalkan. Akibatnya anak gagal mengembangkan rasa-kuasa maupun strategi memecahkan masalah, kecuali sampai taraf mempertahankann hidup. Ia juga tidak menghargai kekuatan bahasa dan tidak menguasai kerumitan bahsa, sebab bahasa bukan sarana yang dapat digunakan untuk mengendalikan lingkungan. Strategi yang dikembangkan sering berbentuk agresi fisik, semacam serangan acak-acakan, sebagai pelampiasan frustasi ataupun sebagai sarana mengontrol lingkungan. Perilaku yang demikian itu menghambat, bukan membantu pemecahan masalah di sekolah.
2. Perkembangan Persepsi
Manusia yang berbeda lingkungannya tidak hanya berbeda budayanya, tetapi juga berbeda perrsepsinya terhadap dunia. Asal budaya menentukan dunia yang dipikirkan, dibicarakan, juga yang dilihat, didengar, diraba, dan dicium. Anak miskin cenderung berasal dari lingkungan keluarga yang tidak memupuk diskriminasi persepsi. Tidak ada orang dewasa menyediakan waktu untuk membantu anak-anak belajar “membaca” gambar, menamai perbedaan, dan memperhatikan hubungan. Ini semua merugikan dan tidak mempersiapkan anak untuk belajar disekolah. Perbedaan pengalaman persepsi dini ini juga mempengaruhi perkembangan intelek.
3. Perkembangan Kognisi
Bahasa tidak hanya membentuk gaya kognitif yang kompleks dan kemampuan memecahkan masalah, tetapi juga merupakan elemen menentukan dalam pembentukan konsep, bahkan juga berpengaruh dalam belajar hafalan. Sebagian besar perkembangan kognisi merupakan tanggapan atas berbagai rangsangan. Ciri lingkungan serba kekurangan adalah tidak adanya orang sewasa yang dapat dijadikan narasumber untuk mendapatkan informasi, untuk membetulkan kesalahan-kesalahan, dan untuk mengarahkan uji realitas maupun sebagai sarana pendukung dan pemuas rasa ingin tahu.
sumber :
Buku Psikologi Pendidikan dan Psikologi Pekolah (direvisi dan dilengkapi) oleh Soetarlinah Sukadji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar